Apakah Forex Haram Atau Halal
Seperti yang telah diajar oleh junjungan mulia Rasulullah SAW, semilhas por sepuluh rezeki itu datangnya dari perniagaan. Forex merupakan satu daripada cabang perniagaan yang boleh dadosburi dan yakinlah perniagaan forex ini adalah HALAL Namun begitu ada beberapa syarat yang perlu dipatuhi oleh TRADER supaya tidak terjerumus dalam perniagaan RIBA. SYARAT-SYARAT FOREX YANG DIBENARKAN Benar, memang FOREX matawang adalah diharuskan, tetapi keharusannya tertakluk kepada sejauh mana ia menurut garis panduan yang dikeluarkan dari hadith Nabi yang sohih. Iaitu: - Dalam menukar wang dengan wang, Nabi telah menyebut garis panduan yang mesti dipatuhi iaitu. Ditukar (serah dan terima) dalam waktu yang sama ia disebut dalam hadis sebagai yadan bi yadin. Dalam bahasa Inggerisnya adalah no local. Ia datang dari hadis:. . . . . . 1611. . 1611. Ertinya. Emas dengan Emas (ditukar atau diniagakan). Perak dengan perak, gandum dengan gandum, tamar dengan tamar, garam dengan garam mestilah sama timbangan dan sukatannya, dan ditukar secara terus (pada satu masa) dan sekiranya berlainan jenis, maka berjual-belilah kamu sebagaimana yang disukai (Riwayat Muslim, no 4039 não Hadith 119). FOREX dalam matawang yang tidak menjaga syarat ini akan menjadi Riba Nasiah. Ini kerana kebanyakan FOREX yang dijalankan oleh institusi Konvalsional adalah 8216Forward FOREX atau Forex yang menggunakan 8216Value para a frente (nilai masa hadapan) yang mempunyai tergolong dalam Riba Nasiah. Forex yang menggunakan nilai 8216Forward ini sememangnya diketahui mampu menghasilkan untung yang lebih berbanding spot dalam kebanyakan keadaan jika tepat penggunaannya. Mestilah terdapat serah terima atau disebut qabadh dalam Islam secara benar hakiki atau hukmi pada waktu yang sama. Sila tonton video klip ceramah Ust. Hj. Zaharuddin Hj. Abd. Rahman mengenai hukum forex. Hukum Trading Forex Menurut MUI Halal atau Haram Mengingat banyaknya yang mempertanyakan apa hukum trading forex menurutIslam (meski sudah banyak dikupas) maka berikut ini saya publicar artigos sobre Gainscope tentang FATWA MUI TENTANG TRADING FOREX. Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada bahwa trading forex adalah HARAM dengan hujjahargumen yang mereka pegangi. Keputusan berpulang pada dan ada di tangan Anda. Selamat membaca. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan olei setiap comerciante de Indonésia: 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita Bahas dengan artikel yang pertama: Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islamismo, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perryingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) por pemiliknya sendiri Atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baiqqi de Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: 8220Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA COMO DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta como adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, kgterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonésia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonésia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul pena e perminataan de bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Penkatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan de Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, et al. Ekonomi dan Koperasi, Jacarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonésia Não: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. B. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah Abu Al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. Albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muçulmano, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks muçulmanos dari Ubadah bin Shamit, Nabi viu bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai ... 4. Hadis Nabi riwayat Muçulmano, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi viu bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi viu bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah viu melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslim, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unidade Usaha Syariah Bank BNI no. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (sobre o contador) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari de merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk acordo para a frente untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPÇÃO yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unidade valuta como pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA Tulisan lain yang menguatkan adalah sebagaimana ditulis por Dr. Mohammed Obaidullah di bawah ini tentang ISLAMIC FOREX TRADING. 1. Os Contratos Básicos de Câmbio Existe um consenso geral entre os juristas islâmicos sobre a visão de que as moedas de diferentes países podem ser trocadas no local, a uma taxa diferente da unidade, uma vez que as moedas de diferentes países são entidades distintas com valores diferentes ou valor intrínseco , E poder de compra. Parece haver um acordo geral entre a maioria dos acadêmicos na visão de que a troca de moeda em regime de adiantamento não é permitida, ou seja, quando os direitos e obrigações de ambas as partes se relacionam com uma data futura. No entanto, existe uma considerável diferença de opinião entre os juristas quando os direitos de qualquer uma das partes, que é igual à obrigação da contraparte, são diferidos para uma data futura. Para elaborar, consideremos o exemplo de dois indivíduos A e B que pertencem a dois países diferentes, Índia e EUA, respectivamente. A pretende vender rúpias indianas e comprar dólares dos EUA. O inverso é verdadeiro para B. A taxa de câmbio rúpia-dólar acordada é 1:20 e a transação envolve compra e venda de 50. A primeira situação é que A faz um pagamento à vista de Rs1000 a B e aceita pagamento de 50 de B . A transação é liquidada a partir de ambos os lados. Tais transações são válidas e islamicamente permissíveis. Não há duas opiniões sobre o mesmo. A segunda possibilidade é que a liquidação da transação de ambos os fins seja diferida para uma data futura, digamos, após seis meses a partir de agora. Isso implica que tanto A como B fariam e aceitavam o pagamento de Rs1000 ou 50, conforme o caso, após seis meses. A visão predominante é que tal contrato não é islamicamente permitido. Uma visão minoritária considera isso permitido. O terceiro cenário é que a transação é parcialmente liquidada de uma única extremidade. Por exemplo, A faz um pagamento de Rs1000 agora para B em vez de uma promessa de B de pagar 50 para ele depois de seis meses. Alternativamente, A aceita 50 agora de B e promete pagar Rs1000 para ele depois de seis meses. Existem visões diametralmente opostas sobre a permissibilidade de tais contratos que equivalem a bai-salam em moedas. O objetivo deste trabalho é apresentar uma análise abrangente de vários argumentos em apoio e contra a permissibilidade desses contratos básicos envolvendo moedas. A primeira forma de contratação envolvendo troca de contravalores no local é além de qualquer tipo de controvérsia. A admissibilidade ou não do segundo tipo de contrato em que a entrega de um dos contravalores é adiada para uma data futura, geralmente é discutida no âmbito da proibição riba. Consequentemente, discutimos este contrato detalhadamente na seção 2 sobre a questão da proibição de riba. A admissibilidade da terceira forma de contrato em que a entrega de ambos os contravalores é diferida, geralmente é discutida no âmbito da redução de risco e incerteza ou gharar envolvidos em tais contratos. Este, portanto, é o tema central da seção 3, que trata da questão de gharar. A seção 4 tenta uma visão holística da Sharia relaciona questões como também o significado econômico das formas básicas de contratação no mercado de câmbio. 2. A questão da proibição de Riba A divergência de pontos de vista1 sobre a permissibilidade ou não de contratos de câmbio em moedas pode ser atribuída principalmente à questão da proibição de riba. A necessidade de eliminar a riba em todas as formas de contratos de câmbio é de extrema importância. Riba em seu contexto da Sharia é geralmente definida2 como um ganho ilegal derivado da desigualdade quantitativa dos contravalores em qualquer transação que pretenda efetuar a troca de duas ou mais espécies (anwa), que pertencem ao mesmo gênero (jins) e são regidas por A mesma causa eficiente (illa). Riba geralmente é classificada em riba al-fadl (excesso) e riba al-nasia (adiamento) que denotam uma vantagem ilegal em excesso ou aferição, respectivamente. A proibição do primeiro é alcançada por uma estipulação de que a taxa de troca entre os objetos é a unidade e nenhum ganho é permitido para qualquer das partes. O último tipo de riba é proibido por não permitir a liquidação diferida e garantir que a transação seja resolvida no local por ambas as partes. Outra forma de riba é chamada riba al-jahiliyya ou riba pré-islâmica que se situa quando o credor pede ao mutuário na data de vencimento se o último liquidar a dívida ou aumentar a mesma. O aumento é acompanhado da cobrança de juros sobre o montante inicialmente emprestado. A proibição de riba na troca de moedas de países diferentes exige um processo de analogia (qiyas). E em qualquer exercício envolvendo analogia (qiyas), causa eficiente (illa) desempenha um papel extremamente importante. É uma causa eficiente comum (illa), que conecta o objeto da analogia com o assunto, no exercício do raciocínio analógico. A causa eficiente apropriada (illa) no caso de contratos de câmbio foi definida de forma variada pelas principais escolas da Fiqh. Essa diferença se reflete no raciocínio análogo para moedas de papel pertencentes a países diferentes. Uma questão de significância considerável no processo de raciocínio análogo refere-se à comparação entre moedas de papel com ouro e prata. Nos primeiros dias do Islã, ouro e prata desempenharam todas as funções do dinheiro (thaman). As moedas eram feitas de ouro e prata com um valor intrínseco conhecido (quantum de ouro ou prata contido nelas). Essas moedas são descritas como thaman haqiqi, ou naqdain na literatura Fiqh. Estes eram universalmente aceitáveis como principal meio de troca, representando um grande número de transações. Muitas outras commodities, como, vários metais inferiores também serviram de meio de troca, mas com aceitabilidade limitada. Estes são descritos como falsos na literatura Fiqh. Estes também são conhecidos como thaman istalahi devido ao fato de que sua aceitabilidade não decorre do seu valor intrínseco, mas devido ao status concedido pela sociedade durante um determinado período de tempo. As duas formas acima mencionadas de moedas foram tratadas de forma muito diferente pelos juristas islâmicos do início do ponto de vista da permissibilidade dos contratos que os envolvem. A questão que precisa ser resolvida é se as atuais moedas de papel de idade se enquadram na categoria anterior ou a última. Uma visão é que estes devem ser tratados a par com thaman haqiqi ou ouro e prata, uma vez que servem como principal meio de troca e unidade de conta como o último. Assim, por um raciocínio análogo, todas as normas e injunções relacionadas à Sharia aplicáveis a thaman haqiqi também devem ser aplicáveis ao papel moeda. O intercâmbio de thaman haqiqi é conhecido como bai-sarf e, portanto, as transações em moedas de papel devem ser regidas pelas regras da Sharia relevantes para bai-sarf. A visão contrária afirma que as moedas de papel devem ser tratadas de forma semelhante a fals ou thaman istalahi por causa do fato de seu valor facial ser diferente do seu valor intrínseco. A sua aceitabilidade decorre do seu estatuto jurídico dentro do país doméstico ou da importância econômica global (como no caso de dólares americanos, por exemplo). 2.1. Uma Síntese de Vistas Alternativas 2.1.1. Razão analógica (Qiyas) para a proibição de Riba A proibição de riba baseia-se na tradição que o santo profeta (a paz esteja com ele) disse: Venda ouro para ouro, prata para prata, trigo para trigo, cevada para cevada, data para data, Sal para o sal, nas mesmas quantidades no local e quando as mercadorias são diferentes, vendam como você se adequa, mas no local. Assim, a proibição de riba se aplica principalmente aos dois metais preciosos (ouro e prata) e quatro outras commodities (trigo, cevada, datas e sal). Também se aplica, por analogia (qiyas) a todas as espécies que são governadas pela mesma causa eficiente (illa) ou que pertencem a qualquer gênero dos seis objetos citados na tradição. No entanto, não existe um acordo geral entre as várias escolas do Fiqh e até mesmo os estudiosos pertencentes à mesma escola sobre a definição e identificação de causa eficiente (illa) de riba. Para os Hanafis, causa eficiente (illa) de riba tem duas dimensões: os artigos trocados pertencem ao mesmo gênero (jins) que possuem peso (wazan) ou mensurabilidade (kiliyya). Se em uma troca dada, ambos os elementos da causa eficiente (illa) estão presentes, isto é, os contravalores trocados pertencem ao mesmo gênero (jins) e são todos pesáveis ou todos mensuráveis, então não é permitido nenhum ganho (a taxa de câmbio deve Ser igual à unidade) e a troca deve ser no local. No caso de ouro e prata, os dois elementos de causa eficiente (illa) são: unidade de gênero (jins) e capacidade de pesagem. Esta é também a exibição Hanbali de acordo com uma versão3. (Uma versão diferente é semelhante à visão Shafii e Maliki, conforme discutido abaixo.) Assim, quando o ouro é trocado por ouro, ou a prata é trocada por prata, só são permitidas transações instantâneas sem qualquer ganho. Também é possível que em uma troca dada, um dos dois elementos de causa eficiente (illa) esteja presente e o outro esteja ausente. Por exemplo, se os artigos trocados são todos pesáveis ou mensuráveis, mas pertencem a gênero diferente (jins) ou, se os artigos trocados pertencem ao mesmo gênero (jins), mas nem é pesável nem mensurável, então troca com ganho (a uma taxa diferente de Unidade) é permissível, mas a troca deve ser no local. Assim, quando o ouro é trocado por prata, a taxa pode ser diferente da unidade, mas não é permitida a liquidação diferida. Se nenhum dos dois elementos de causa eficiente (illa) de riba estiver presente em uma dada troca, nenhuma das injunções para a proibição riba se aplica. O intercâmbio pode ocorrer com ou sem ganho e tanto em um ponto quanto em diferido. Considerando o caso de troca envolvendo moedas de papel pertencentes a diferentes países, a proibição de riba exigiria uma busca de causa eficiente (illa). As moedas pertencentes a diferentes países são entidades claramente distintas, que são legais em limites geográficos específicos com diferentes valores intrínsecos ou poder de compra. Por conseguinte, uma grande maioria de estudiosos talvez afirmem, com razão, que não existe uma unidade de gênero (jins). Além disso, estes não são pesáveis nem mensuráveis. Isso leva a uma conclusão direta de que nenhum dos dois elementos de causa eficiente (illa) de riba existe em tal troca. Assim, a troca pode ser realizada sem qualquer injunção quanto à taxa de câmbio e à forma de liquidação. A lógica subjacente a esta posição não é difícil de compreender. O valor intrínseco das moedas de papel pertencentes a diferentes países difere, pois estes têm poder de compra diferente. Além disso, o valor intrínseco ou o valor das moedas de papel não pode ser identificado ou avaliado ao contrário do ouro e da prata que podem ser pesados. Portanto, nem a presença de riba al-fadl (por excesso), nem riba al-nasia (por adiamento) pode ser estabelecida. A escola Shafii de Fiqh considera a causa eficiente (illa) no caso de ouro e prata serem sua propriedade de ser moeda (thamaniyya) ou meio de troca, unidade de conta e loja de valor. Esta é também a visão de Maliki. De acordo com uma versão deste ponto de vista, mesmo que o papel ou o couro sejam feitos como meio de troca e recebam o status de moeda, então todas as regras relativas a naqdain, ou ouro e prata são aplicáveis a eles. Assim, de acordo com esta versão, o intercâmbio envolvendo moedas de diferentes países a uma taxa diferente da unidade é permitido, mas deve ser resolvido no local. Outra versão das duas escolas de pensamento acima é que a causa eficiente citada acima (illa) de ser moeda (thamaniyya) é específica para ouro e prata e não pode ser generalizada. Ou seja, qualquer outro objeto, se usado como meio de troca, não pode ser incluído em sua categoria. Assim, de acordo com esta versão, as injunções Sharia para a proibição riba não são aplicáveis às moedas de papel. As moedas pertencentes a diferentes países podem ser trocadas com ou sem ganho, e ambas, de forma diferida ou diferida. Os defensores da versão anterior citam o caso da troca de moedas de papel pertencentes ao mesmo país em defesa de sua versão. A opinião consensual de juristas neste caso é que essa troca deve ser sem qualquer ganho ou a uma taxa igual à unidade e deve ser resolvida no local. Qual é a lógica subjacente à decisão acima. Se considerarmos a Hanafi e a primeira versão da posição Hanbali, então, neste caso, apenas uma dimensão da causa eficiente (illa) está presente, ou seja, elas pertencem ao mesmo gênero (jins ). Mas as moedas de papel não são pesáveis nem mensuráveis. Assim, a lei Hanafi aparentemente permitiria o intercâmbio de diferentes quantidades da mesma moeda no local. Da mesma forma, se a causa eficiente de ser moeda (thamaniyya) é específica apenas para ouro e prata, a lei Shafii e Maliki também permitiria o mesmo. Escusado será dizer que isso equivale a permitir empréstimos e empréstimos com base em riba. Isso mostra que, é a primeira versão do pensamento de Shafii e Maliki que está subjacente à decisão consensual de proibição de ganho e liquidação diferida em caso de troca de moedas pertencentes ao mesmo país. De acordo com os proponentes, estender essa lógica ao intercâmbio de moedas de diferentes países implicaria que a permuta com ganho ou a uma taxa diferente da unidade é permitida (uma vez que não há unidade de jins), mas a liquidação deve ser no local. 2.1.2 A comparação entre Câmbio e Bai-Sarf Bai-sarf é definida na literatura Fiqh como uma troca envolvendo o thaman haqiqi, definido como ouro e prata, que serviu de principal meio de troca para quase todas as principais transações. Os defensores da visão de que qualquer troca de moedas de diferentes países são iguais ao bai-sarf argumentam que, na atual idade, as moedas de papel substituiram efetivamente e completamente o ouro e a prata como meio de troca. Assim, por analogia, o intercâmbio envolvendo tais moedas deve ser regido pelas mesmas regras e injunções da Sharia como bai-sarf. Também se argumenta que, se for permitida a liquidação diferida de ambas as partes no contrato, isso abriria as possibilidades de riba-al nasia. Os oponentes da categorização da troca de moeda com o bai-sarf no entanto destacam que a troca de todas as formas de moeda (thaman) não pode ser denominada como bai-sarf. De acordo com esta visão, o bai-sarf implica a troca de moedas feitas de ouro e prata (thaman haqiqi ou naqdain) sozinhas e não de dinheiro declarado como tal pelas autoridades estaduais (thaman istalahi). As moedas atuais da época são exemplos desse último tipo. Esses estudiosos encontram apoio nesses escritos que afirmam que, se as commodities de troca não são ouro ou prata, (mesmo que uma delas seja ouro ou prata), a troca não pode ser denominada como bai-sarf. Nem as estipulações relativas ao bai-sarf seriam aplicáveis a tais trocas. De acordo com Imam Sarakhsi4, quando um indivíduo compra falsas ou moedas feitas de metais inferiores, como, por exemplo, cobre (thaman istalahi) para dirhams (thaman haqiqi) e faz um pagamento no local do último, mas o vendedor não possui falsos naquele momento , Então essa permuta é permitida. Tomar posse de mercadorias trocadas por ambas as partes não é uma condição prévia (enquanto no caso de bai-sarf, é.) Existe uma série de referências semelhantes que indicam que os juristas não classificam uma troca de fals (thaman istalahi) por outra falsa ( Thaman istalahi) ou ouro ou prata (thaman haqiqi), como bai-sarf. Assim, as trocas de moedas de dois países diferentes que só podem ser qualificadas como thaman istalahi não podem ser categorizadas como bai-sarf. Nem a restrição quanto à liquidação no local pode ser impostas a tais transações. Deve notar-se aqui que a definição de bai-sarf é fornecida na literatura do Fiqh e não há menção ao mesmo nas tradições sagradas. As tradições mencionam sobre riba, e a venda e compra de ouro e prata (naqdain), que pode ser uma fonte importante de riba, é descrita como bai-sarf pelos juristas islâmicos. Também deve notar-se que, na literatura Fiqh, o bai-sarf implica a troca de ouro ou prata, apenas se estes estão sendo usados como meio de troca ou não. Troca envolvendo dinares e ornamentos de ouro, ambos de qualidade como bai-sarf. Vários juristas procuraram esclarecer este ponto e definiram o sarf como aquela troca em que tanto as commodities trocadas são da natureza de Thaman, e não necessariamente do próprio Thaman. Assim, mesmo quando uma das commodities é processada de ouro (digamos, ornamentos), essa troca é chamada de bai-sarf. Os defensores da visão de que a troca de moeda deve ser tratada de forma semelhante ao bai-sarf também derivam o apoio de escritos de juristas islâmicos eminentes. De acordo com Imam Ibn Taimiya, qualquer coisa que desempenhe as funções de meio de troca, unidade de conta e armazenamento de valor é chamado thaman, (não necessariamente limitado ao ouro amplificador de prata). Referências semelhantes estão disponíveis nos escritos de Imam Ghazzali5 No que diz respeito às opiniões do Imam Sarakhshi em relação à troca envolvendo falsos, de acordo com eles, alguns pontos adicionais devem ser tomados nota. Nos primeiros dias do Islã, os dinares e dirhams feitos de ouro e prata eram usados principalmente como meio de troca em todas as principais transações. Somente os menores foram resolvidos com falsos. Em outras palavras, fals não possuía as características de dinheiro ou thamaniyya na íntegra e dificilmente era usado como loja de valor ou unidade de conta e era mais na natureza da mercadoria. Portanto, não houve restrição na compra do mesmo por ouro e prata em regime diferido. As moedas atuais têm todas as características de thaman e são feitas apenas como Thaman. O intercâmbio envolvendo moedas de diferentes países é o mesmo que o bai-sarf com diferença de jins e, portanto, a liquidação diferida levaria a riba al-nasia. O Dr. Mohamed Nejatullah Siddiqui ilustra esta possibilidade com um exemplo6. Ele escreve Em um determinado momento no momento em que a taxa de câmbio do mercado entre dólar e Rupia é 1:20, se um indivíduo comprar 50 à taxa de 1:22 (liquidação de sua obrigação em Rúpias diferido para uma data futura), então É altamente provável que ele seja. Na verdade, emprestando Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolso de Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter o Rs 1000 agora, trocando os 50 comprados no crédito à taxa spot). Assim, o sarf pode ser convertido em empréstimo de empréstimos com base em juros. 2.1.3 Definir Thamaniyya é a chave. Aparece a partir da síntese acima de pontos de vista alternativos que a questão-chave parece ser uma definição correta de thamaniyya. Por exemplo, uma questão fundamental que leva a posições divergentes sobre a permissibilidade relaciona se thamaniyya é específico para ouro e prata, ou pode ser associado a qualquer coisa que desempenhe as funções de dinheiro. Levamos algumas questões abaixo que podem ser levadas em consideração em qualquer exercício de reconsideração de posições alternativas. Deve ser apreciado que thamaniyya pode não ser absoluto e pode variar em graus. É verdade que as moedas de papel substituíram completamente ouro e prata como meio de troca, unidade de conta e estoque de valor. Nesse sentido, pode-se dizer que as moedas de papel possuem thamaniyya. No entanto, isso é verdade apenas para moedas domésticas e pode não ser verdade para moedas estrangeiras. Em outras palavras, as rupias indianas possuem thamaniyya dentro dos limites geográficos da Índia e não têm qualquer aceitabilidade nos EUA. Não se pode dizer que estes possamos thamaniyya nos EUA, a menos que um cidadão dos EUA possa usar rúpias indianas como meio de troca, unidade de conta ou armazenamento de valor. Na maioria dos casos, essa possibilidade é remota. Esta possibilidade também é função do mecanismo da taxa de câmbio em vigor, como a conversibilidade das rupias indianas em dólares norte-americanos, e se um sistema de taxa de câmbio fixo ou flutuante está em vigor. Por exemplo, assumindo a livre convertibilidade das rupias indianas em dólares norte-americanos e vice-versa, e um sistema de taxa de câmbio fixo em que a taxa de câmbio da rupia-dólar não deverá aumentar ou diminuir no futuro previsível, a taxa de rupia nos EUA é consideravelmente melhorada . O exemplo citado pelo Dr. Nejatullah Siddiqui também parece bastante robusto nas circunstâncias. A permissão para trocar rúpias por dólares em regime de diferimento (de um lado, é claro) a uma taxa diferente da taxa local (taxa oficial que provavelmente permanecerá fixada até a data da liquidação) seria um caso claro baseado em juros Empréstimos e empréstimos. No entanto, se a assunção da taxa de câmbio fixa for relaxada e o atual sistema de taxas de câmbio flutuantes e voláteis for assumido, então pode-se mostrar que o caso de riba al-nasia se decompõe. Reescrevemos seu exemplo: em um determinado momento no momento em que a taxa de câmbio do mercado entre o dólar e a rupia é de 1:20, se um indivíduo comprar 50 à razão de 1:22 (liquidação de sua obrigação em rupias diferido para uma data futura ), Então é altamente provável que ele seja. Na verdade, emprestando Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolso de Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter Rs 1000 agora, trocando os 50 comprados em crédito à taxa spot). Isso seria assim, somente se o risco cambial for inexistente (a taxa de câmbio permanece em 1:20) ou é suportada pelo vendedor De dólares (o comprador paga em rupias e não em dólares). Se o primeiro for verdadeiro, o vendedor de dólares (credor) recebe um retorno predeterminado de dez por cento quando ele converte Rs1100 recebido na data de vencimento em 55 (a uma taxa de câmbio de 1:20). No entanto, se o último for verdadeiro, o retorno ao vendedor (ou ao credor) não está predeterminado. Não precisa sequer ser positivo. Por exemplo, se a taxa de câmbio rúpia-dólar aumentar para 1:25, então o vendedor de dólares receberia apenas 44 (Rs 1100 convertidos em dólares) por seu investimento de 50. Aqui dois pontos valem a pena notar. Primeiro, quando se assume um regime de taxa de câmbio fixo, a distinção entre moedas de diferentes países é diluída. A situação torna-se semelhante à troca de libras esterlinas (moedas do mesmo país) a uma taxa fixa. Em segundo lugar, quando se assume um sistema de taxa de câmbio volátil, então, assim como se pode visualizar os empréstimos através do mercado de moeda estrangeira (mecanismo sugerido no exemplo acima), também é possível visualizar os empréstimos através de qualquer outro mercado organizado (como, por exemplo, para commodities ou ações .) Se um substituir dólares por ações no exemplo acima, seria lido como: Em um momento dado, quando o preço de mercado do estoque X é de Rs 20, se um indivíduo comprar 50 ações na taxa de Rs 22 (liquidação de Sua obrigação em rupias diferiu para uma data futura), então é altamente provável que ele seja. Na verdade, emprestando Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolso de Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter o Rs 1000 agora, trocando os 50 estoques comprados no crédito a preço atual). Neste caso também, como no exemplo anterior, os retornos ao vendedor de ações podem ser negativos se o preço das ações aumentar para Rs 25 na liquidação encontro. Assim, assim como os retornos no mercado de ações ou no mercado de commodities são islamicamente aceitáveis devido ao risco de preço, também são retornos no mercado de câmbio por causa das flutuações nos preços das moedas. Uma característica única de thaman haqiqi ou ouro e prata é que o valor intrínseco da moeda é igual ao seu valor nominal. Assim, a questão dos diferentes limites geográficos em que circula uma determinada moeda, como dinar ou dirham, é completamente irrelevante. O ouro é ouro, seja no país A ou no país B. Assim, quando a moeda do país A feita de ouro é trocada por moeda do país B, também feita de ouro, então qualquer desvio da taxa de câmbio da união ou adiamento da liquidação por qualquer das partes Não pode ser permitido, pois isso envolve claramente riba al-fadl e também riba al-nasia. No entanto, quando as moedas de papel do país A são trocadas por moeda em papel do país B, o caso pode ser totalmente diferente. O risco de preço (risco de taxa de câmbio), se positivo, eliminaria qualquer possibilidade de riba al-nasia na troca com liquidação diferida. No entanto, se o risco de preço (risco de taxa de câmbio) for zero, essa troca poderá ser uma fonte de riba al-nasia se for permitida a liquidação diferida7. Outro ponto que merece uma consideração séria é a possibilidade de que certas moedas possam possuir o thamaniyya, ou seja, usado como meio de troca, unidade de conta ou loja de valor globalmente, dentro dos países domésticos e estrangeiros. Por exemplo, o dólar norte-americano é um curso legal dentro dos EUA, também é aceitável como meio de troca ou unidade de conta para um grande volume de transações em todo o mundo. Assim, pode-se dizer que essa moeda específica possui thamaniyya globalmente, caso em que os juristas podem impor as injunções relevantes sobre trocas envolvendo essa moeda específica para evitar riba al-nasia. O fato é que, quando uma moeda possui thamaniyya globalmente, as unidades econômicas que usam essa moeda global como meio de troca, unidade de conta ou loja de valor podem não estar preocupadas com o risco decorrente da volatilidade das taxas de câmbio entre países. Ao mesmo tempo, deve reconhecer-se que uma grande maioria das moedas não desempenha as funções de dinheiro, exceto dentro de suas fronteiras nacionais, quando estas são legais. Riba e risco não podem coexistir no mesmo contrato. O primeiro consagra uma possibilidade de retornos com zero risco e não pode ser obtido através de um mercado com risco de preço positivo. Como foi discutido acima, a possibilidade de riba al-fadl ou riba al-nasia pode surgir em troca quando ouro ou prata funcionam como thaman ou quando o intercâmbio envolve moedas de papel pertencentes ao mesmo país ou quando a troca envolve moedas de diferentes países Seguindo um sistema de taxa de câmbio fixo. A última possibilidade é talvez não oficial8, uma vez que o preço ou a taxa de câmbio das moedas devem flutuar livremente de acordo com as mudanças na demanda e na oferta e também porque os preços devem refletir o valor intrínseco ou o poder de compra das moedas. Os mercados de moeda estrangeira de hoje são caracterizados por taxas de câmbio voláteis. Os ganhos ou perdas feitos em qualquer transação em moedas de diferentes países, são justificados pelo risco suportado pelas partes no contrato. 2.1.4. Possibilidade de Riba com Futuros e Forwards Até agora, discutimos pontos de vista sobre a permissibilidade de bai salam em moedas, ou seja, quando a obrigação de apenas uma das partes na bolsa é diferida. Quais são os pontos de vista dos estudiosos sobre o adiamento das obrigações de ambas as partes. O exemplo típico de tais contratos é acionável e futuros9. De acordo com uma grande maioria de estudiosos, isso não é permitido por vários motivos, sendo o mais importante o elemento de risco e incerteza (gharar) e a possibilidade de especulação de um tipo que não é permitido. Isso é discutido na seção 3. No entanto, outro motivo para rejeitar tais contratos pode ser uma proibição de riba. No parágrafo anterior, discutimos que o bai salam em moedas com taxas de câmbio flutuantes não pode ser usado para ganhar riba devido à presença de risco cambial. É possível demonstrar que o risco cambial pode ser coberto ou reduzido a zero com outro contrato a prazo negociado simultaneamente. E, uma vez que o risco é eliminado, o ganho claramente seria riba. Nós modificamos e reescrevemos o mesmo exemplo: em um determinado momento no momento em que a taxa de câmbio do mercado entre o dólar e a rupia é de 1:20, um indivíduo compra 50 na taxa de 1:22 (liquidação de sua obrigação em rupias diferidas para uma Data futura) e o vendedor de dólares também cobre sua posição ao celebrar um contrato a termo para vender Rs1100 para ser recebido na data futura a uma taxa de 1:20, então é altamente provável que ele seja. Na verdade, emprestando Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolso de Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter o Rs 1000 agora, trocando os 50 dólares comprados a crédito à taxa spot) O vendedor dos dólares (credor) recebe um retorno predeterminado de dez por cento quando converte Rs1100 recebido na data de vencimento em 55 dólares (a Uma taxa de câmbio de 1:20) pelo investimento de 50 dólares, independentemente da taxa de câmbio vigente na data de vencimento. Outra maneira simples de ganhar o riba pode envolver uma transação no local e uma transação para a frente simultânea. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar 3.1 Defining Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exc hange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, India Jika Anda merasa tulisan di atas berguna, luangkan waktu barang 5 menit untuk menyebarkannya. Terima kasih. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader di Indonesia. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islamismo, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perryingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) por aí Pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baiqqi de Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islã: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA COMO DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta como adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, kgterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonésia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonésia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul pena e perminataan de bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Penkatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan de Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, et al. Ekonomi dan Koperasi, Jacarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonésia Não: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. B. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah Abu Al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. Albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muçulmano, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks muçulmanos dari Ubadah bin Shamit, Nabi viu bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai ... 4. Hadis Nabi riwayat Muçulmano, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi viu bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi viu bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah viu melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslim, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unidade Usaha Syariah Bank BNI no. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (sobre o contador) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari de merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk acordo para a frente untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPÇÃO yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unidade valuta como pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONÉSIA
Comments
Post a Comment